2 SEPTEMBER 1970. Pengadilan Negeri Istimewa Jakarta Pusat penuh sesak. Wartawan, seniman, ulama, mahasiswa, pelajar, semua menatap ke arah kursi terdakwa. Di meja hijau, Hakim Ketua Anton Abdurrachman Putra, SH, tampak tegang. Dia menatap kursi terdakwa, yang di atasnya duduk pria tambun, menebarkan senyum, tampak begitu berwibawa.
Hari itu memang tercatat sebagai peristiwa paling penting dalam sastra Indonesia. Pengadilan itu hadir, untuk menilai penghinaan yang dilakukan seorang pengarang, Ki Panji Kusmin, lewat cerpennya, Langit Makin Mendung, “atas umat Islam”.. Tapi, yang duduk sebagai terdakwa di situ bukan Kusmin, melainkan Jassin, yang memuat cerpen itu di berkala budaya yang ia pimpin, Sastra. Ia duduk sebagai terdakwa, karena ia menolak memberi identitas asli dari Kusmin, yang ternyata hanya nama samaran.
“Saudara Jassin, kapan Anda siap membacakan pembelaan,” tanya Hakim Anton.
“Sekarang!” jawab Jassin.
Ia berdiri. Di samping kursinya, ia tatap ulama besar Hamka, yang duduk sebagai saksi yang memberatkan. Kertas pembelaan setebal 100 halaman itu bergetar di tangannya. Suaranya memberat, bergelora, kala ia mulai membaca. Suasana hening, kesesakan massa itu seperti tersihir Jassin.
Ia mengatakan, dunia imajinasi dan kenyataan adalah dua hal yang berbeda, dan tak bisa dibenturkan. Jassin percaya, imajinasi tak bisa diadili dan disetarakan dengan dalil agama. Pada hakikatnya, imajinasi adalah bebas, dan tak bisa adili meskipun ia bersinggungan dengan kenyataan, karena dua hal itu punya jalur yang berbeda.
“Apakah kita harus memaksa seniman mendiamkan hati nuraninya, membutakan matanya, menulikan telinganya, mematikan perasaannya, dan melumpuhkan pikirannya buat hal-hal yang terjadi disekitanya?” tanya Jassin, lebih sebagai gugatan.
Pengunjung bergemuruh, mendukung Jassin. Tapi Hamka, tak sependapat. Dan Hakim Anton mengetuk palu, vonis jatuh: 1 tahun penjara dengan masa percobaan 2 tahun untuk Jassin.
Juru Peta Sastra Indonesia
Judul: Bayang baur sejarah : sketsa hidup penulis-penulis besar dunia
Penulis: Aulia A. Muhammad Tahun Terbit: 2003
Penerbit: Tiga Serangkai Jumlah Halaman: 228 ISBN : 9796684012

Jassin lahir di Gorontalo, 1917. Ayahnya seorang otodidak yang luar biasa, selalu mengarahkan Jassin untuk belajar daripada bermain. Tak jarang, Jassin kecil diminta untuk membacakan koran Belanda, sementara ayahnya mendengarkan sambil membenarkan ejaannya. Jassin akhirnya tertular virus kutu buku.Penulis: Aulia A. Muhammad Tahun Terbit: 2003
Penerbit: Tiga Serangkai Jumlah Halaman: 228 ISBN : 9796684012

Sekecil itu pula, buku-buku dewasa sudah ia lalap. Termasuk empat serial Sexuele Zeden in Woord en Beeld (Tingkah Laku Seksual dalam Kata dan Gambar).
Ketika di kelas 4 HIS, ia membaca Saijah dan Adinda, bagian dari roman Max Havelaar karya Multatuli. Dan bermula dari sinilah, Jassin mengaku jatuh cinta pada sastra.
1933, Jassin pindah ke Medan, dan melanjutkan ke HBS. Di sini, ia jatuh cinta pada Leila. Sayang, setamat BHS, Jassin kembali ke Gorontalo, dan hubungan cinta itu tak berlanjut. Di Gorontalo, ia bekerja sebagai calon pegawai di kantor asisten keresidenan, posisi yang terhormat waktu itu. Tapi Jassin tak menyukainya. Ia hanya belajar teknik pendokumentasian, yang kelak amat berjasa memabantunya dalam menyusun sejarah Sastra Indonesia.
1 Februaari 1940, Jassin sampai di Jakarta. Ia mulai bekerja di Pujangga Baru, atas rekomendasi Sutan Takdir Alisjahbana, yang sangat terkesan dengan kepiawaiannya menjelaskan kondisi kesastraan Indonesia. Di sinilah, bergaul dengan Tulis Sutan Sati, Armijn Pane, Aman Dt Mojoindo dan Nur Sutan Iskandar, ia memperoleh kemajuan dan pendalaman yang hebat tentang sastra.
“Armijn Pane adalah guru saya. Dari dia saya belajar Freud, Nietzsche, Schopenhaue, Sartre, Camus, dan filsuf India, Krisnamurti. Tapi, Also Sprach Zarathustra karya Nietzsche, membuat saya begitu terpesona pada filsafat,” aku Jassin pada Leila Ch Chudori dari Tempo.
Pertengahan tahun 1943, saat sibuk menyeleksi naskah, seorang kurus, bermata merah, berambut kusut, dan kucel, mendatanginya.
“Nih, sajak saya,” kata lelaki itu, keras.
Jassin menatapnya. Siapa lelaki itu, ia tak kenal. Tapi naskah itu ia baca. Puisi berjudul Nisan itu, membuat Jassin geleng kepala, naskah yang luar biasa bagus.Tapi ketika nama penulis itu ia baca, Jassin kaget, Chairil Anwar. Telah lama ia mengagumi puisi penyair ini, tanpa pernah tahu sosoknya.
“Sejak itu saya akrab dengan dia. Saya suka dengan pengaruh eksprosionisme yang kental dalam karyanya. Sayang, Armijn tak begitu menyukainya, yang ia nilai terlalu kebaratan.”
Mereka pun akrab. Chairil bebas lalu lalang di rumah Jassin. Tapi, hubungan mereka juga pernah renggang, dan nyaris baku pukul karena kenyinyiran Chairil yang mengejek “keaktoran” Jassin. Tapi setelah itu mereka akrab kembali. Dibandingkan dengan para sastrawan Pujangga Baru, agaknya hanya Jassin yang bisa menerima “keseenakhatian dan kesemauguean Chairil”.
“Jassin, dalam kalangan kita sifat setengah-setengah bersimaharajalela benar. Kau tentu tahu ini. Aku memasuki kesenian dengan sepenuh hati…” ini adalah kartu pos Chairil pada Jassin, 8 Maret 1944, yang selalu Jassin ingat, dan acap membuatnya terharu.
Jassin kemudian hidup juga untuk sastra. Ia adalah pendokumentasi paling lengkap kesusastraan Indonesia. Ratusan sarjana, juga doktor, telah lahir dari memanfaatkan dokumentasinya. Ia adalah pembela, dan paus sastra kita. Sebuah pilihan hidup, yang kadang tak sepenuhnya enak.
Jassin misalnya, berseteru dengan Lekra, tersandung kasus Ki Panji Kusmin, dan terakhir, kasus Puitisasi Alquran. Tapi ia tak goyah. Tak ada napas yang keluar dari mulutnya, kecuali untuk “menghidupi” sastra.
Bahkan dalam sakit, ia masih sempatkan diri menerjemahkan beberapa buku. Seperti di Maret 1997, ia masih berkutat dengan naskah Terang Benderang Rumi, ketika stroke menyerangnya, dan membuatnya koma, hampir dua tahun lebih di rumah sakit. Sampai kemudian maut menjemputnya, 2 Juni 1999.
“HB Jassin, di mana berakhirnya mata seorang penyair, dia telah tahu…” Itu sebuah puisi dari Toto Sudarto Bachtiar, yang secara jelas, menggambarkan dunia batin Jassin. [dari buku Bayang Baur Sejarah, sketsa hidup penulis-penulis besar dunia]
0 Comments:
Posting Komentar