JAKARTA - Raut terkejut tidak dapat disembunyikan Ginanio Rivayanti Babay ketika dewan juri Lomba Pidato Bahasa Jepang Tingkat Nasional Ke-39 mengumumkan namanya sebagai pemenang pertama. Sontak, auditorium Radio Republik Indonesia (RRI) Jakarta gegap gempita dengan sorakan pendukung Gina mengelu-elukan namanya.
Gadis kelahiran Makassar, 21 Januari 1990, ini mengaku ciut menghadapi lomba pidato bahasa Jepang yang baru pertama kali dia ikuti tersebut. "Kebanyakan finalis adalah senpai (senior), mahasiswa tahun kedua seperti saya hanya dua orang. Tapi para senpai tetap menyemangati kami," tuturnya.
Mahasiswi semester empat pada jurusan Sastra Jepang Universitas Dharma Persada Jakarta tersebut mengalahkan tiga belas finalis lainnya dari seluruh Indonesia. Kebanyakan peserta telah beberapa kali mengikuti lomba ini. "Makanya saya kaget dan enggak nyangka banget ketika nama saya disebut jadi juara pertama," terang Gina.
Dewan juri yang diketuai Director Information and Cultural Center Tani Masaki mantap memilih Gina sebagai jawara laga pidato tahunan ini karena materi dan pemaparan pidato Gina memiliki keunggulan dibanding finalis lainnya. "Meski demikian, secara kseluruhan, para finalis tampil sangat bagus," jelas Masaki kepada okezone.
Tampil sebagai finalis pamungkas pada laga ini, Gina membawakan pidato berjudul Hidup dari sampah (Belajar Pengelolaan Sampah dari Jepang). Materi pidato ini dipilih karena kepedulian Gina terhadap lingkungan Jakarta yang setiap hari dirasanya makin kotor dan rawan banjir. Selama lima hingga tujuh menit, Gina memaparkan pandangannya tentang budaya peduli sampah di Jepang.
"Saya nggak banyak ngomongin cara penanggulangan sampah. Saya hanya menyampaikan mengapa Jepang bisa sangat peduli pada sampah tapi Indonesia tidak?" jelas gadis yang memiliki karakter pemalu ini.
Dalam pidatonya Gina menjelaskan, bagi orang Jepang, sampah sangat berarti. Sampah sekecil apapun pasti akan mereka pungut untuk lalu dibuang ke tempat sampah. Jiwa seperti itu yang membuat pengelolaan sampah Jepang hebat. "Kalau di Indonesia, meski di awal sudah dipisahkan antara sampah organik dan anorganik, tetapi di (tempat pembuangan akhir) Bantar Gebang semua sampah itu disatukan lagi, jadi percuma," papar gadis yang menyenangi kebudayaan Jepang sejak di bangku sekolah menengah pertama ini.
Gina menambahkan, meski pemerintah telah melakukan banyak sosialisasi dan penyuluhan pengelolaan sampah, tetapi jika perilaku masyarakat Indonesia tidak berubah, pengelolaan sampah Indonesia tetap akan berantakan, begitu juga sebaliknya. "Butuh waktu panjang untuk mengubah perilaku pengelolaan sampah di Indonesia. Pemerintah dan masyarakat harus bekerja sama dengan baik," terangnya.
Sebenarnya banyak di antara masyarakat Indonesia yang telah peduli pada pengelolaan sampah, seperti di beberapa komunitas yang tersebar di beberapa kota. Namun demikian, Gina merasa, perhatian pemerintah masih minim. "Tapi nggak apa-apa. Jepang dulu seperti itu. Maka, kita juga pasti bisa," pungkas Gina. (okezone.com)
Gadis kelahiran Makassar, 21 Januari 1990, ini mengaku ciut menghadapi lomba pidato bahasa Jepang yang baru pertama kali dia ikuti tersebut. "Kebanyakan finalis adalah senpai (senior), mahasiswa tahun kedua seperti saya hanya dua orang. Tapi para senpai tetap menyemangati kami," tuturnya.
Mahasiswi semester empat pada jurusan Sastra Jepang Universitas Dharma Persada Jakarta tersebut mengalahkan tiga belas finalis lainnya dari seluruh Indonesia. Kebanyakan peserta telah beberapa kali mengikuti lomba ini. "Makanya saya kaget dan enggak nyangka banget ketika nama saya disebut jadi juara pertama," terang Gina.
Dewan juri yang diketuai Director Information and Cultural Center Tani Masaki mantap memilih Gina sebagai jawara laga pidato tahunan ini karena materi dan pemaparan pidato Gina memiliki keunggulan dibanding finalis lainnya. "Meski demikian, secara kseluruhan, para finalis tampil sangat bagus," jelas Masaki kepada okezone.
Tampil sebagai finalis pamungkas pada laga ini, Gina membawakan pidato berjudul Hidup dari sampah (Belajar Pengelolaan Sampah dari Jepang). Materi pidato ini dipilih karena kepedulian Gina terhadap lingkungan Jakarta yang setiap hari dirasanya makin kotor dan rawan banjir. Selama lima hingga tujuh menit, Gina memaparkan pandangannya tentang budaya peduli sampah di Jepang.
"Saya nggak banyak ngomongin cara penanggulangan sampah. Saya hanya menyampaikan mengapa Jepang bisa sangat peduli pada sampah tapi Indonesia tidak?" jelas gadis yang memiliki karakter pemalu ini.
Dalam pidatonya Gina menjelaskan, bagi orang Jepang, sampah sangat berarti. Sampah sekecil apapun pasti akan mereka pungut untuk lalu dibuang ke tempat sampah. Jiwa seperti itu yang membuat pengelolaan sampah Jepang hebat. "Kalau di Indonesia, meski di awal sudah dipisahkan antara sampah organik dan anorganik, tetapi di (tempat pembuangan akhir) Bantar Gebang semua sampah itu disatukan lagi, jadi percuma," papar gadis yang menyenangi kebudayaan Jepang sejak di bangku sekolah menengah pertama ini.
Gina menambahkan, meski pemerintah telah melakukan banyak sosialisasi dan penyuluhan pengelolaan sampah, tetapi jika perilaku masyarakat Indonesia tidak berubah, pengelolaan sampah Indonesia tetap akan berantakan, begitu juga sebaliknya. "Butuh waktu panjang untuk mengubah perilaku pengelolaan sampah di Indonesia. Pemerintah dan masyarakat harus bekerja sama dengan baik," terangnya.
Sebenarnya banyak di antara masyarakat Indonesia yang telah peduli pada pengelolaan sampah, seperti di beberapa komunitas yang tersebar di beberapa kota. Namun demikian, Gina merasa, perhatian pemerintah masih minim. "Tapi nggak apa-apa. Jepang dulu seperti itu. Maka, kita juga pasti bisa," pungkas Gina. (okezone.com)
0 Comments:
Posting Komentar