
Jika jumlah mahasiswa tidak cukup, kecil kemungkinan PTS bisa survive karena sumber dana sebagian besar berasal dari mahasiswa. Nyatanya banyak PTS yang tetap memaksakan diri membuka program studi meskipun jumlah mahasiswa tidak memadai. Bahkan, ada pula PTS yang tinggal papan nama karena kekurangan mahasiswa.
Kondisi terseok-seoknya PTS terus dipersoalkan. Pemerintah dinilai tidak adil lantaran lebih memperhatikan perguruan tinggi negeri (PTN) daripada PTS dengan memberi insentif lebih besar. Di sisi lain, PTN yang menggunakan fasilitas negara terus mengelola dirinya seperti PTS dengan membuka kelas-kelas baru yang menarik banyak calon mahasiswa.
PTS yang gulung tikar ataupun menutup program studinya bisa jadi karena kalah bersaing. "Kue" yang diperebutkan secara nasional hanya 2,7 juta jiwa lulusan SMU per tahunnya. Angka itu lalu dibagi untuk 82 perguruan tinggi negeri (PTN), dan 2.746 PTS dengan 10.656 prodi. Bila dipersentasekan, 75% mahasiswa diserap PTS dan hanya 25% diserap PTN.
Dibandingkan PTN yang jumlahnya hanya 82 buah, PTS di Indonesia hadir dalam jumlah yang luar biasa, yakni 2746 PTS. Jika dicermati, tingginya jumlah PTS di Indonesia merupakan akibat terlalu mudahnya pemerintah memberikan izin pendirian perguruan tinggi tanpa memerhatikan program studi yang dibuka, kebutuhan masyarakat, sarana dan prasarana pendidikan, serta beragam faktor lainnya.
Di sisi lain, pemerintah tidak optimal mengevaluasi perguruan tinggi yang sudah didirikan, termasuk mengevaluasi tenaga pengajar, program studi, sarana pendidikan, serta mahasiswa peserta program studi. Hal itu pada gilirannya telah menyeret PTS pada persoalan kesulitan bertahan hidup, lantaran mulai ditinggalkan masyarakat. Hal lain, kini PTS harus bersaing secara tidak sehat dengan perguruan tinggi negeri (PTN) yang sangat mudah membuka program studi serta menyediakan beragam jalur, di tengah rendahnya angka partisipasi kasar (APK) perguruan tinggi di Indonesia.
Berdasarkan data, dari 28 juta penduduk Indonesia berusia 19-24 tahun, yang seharusnya mengenyam pendidikan tinggi, sampai saat ini baru 4,3 juta orang yang menjadi mahasiswa (17,2 persen). Pemerintah menargetkan APK perguruan tinggi bisa mencapai 18 persen atau membutuhkan tambahan 180.000 mahasiswa baru hingga tahun 2009. Sementara jumlah PTS saat ini telah melebihi kebutuhan masyarakat dan pertumbuhan calon mahasiswa baru.
Di satu sisi pertumbuhan PTS ini dapat ditafsirkan sebagai bentuk kepedulian pihak swasta terhadap kualitas SDM negeri ini. Atau dapat juga ditafsirkan sebagai sebuah tanggung jawab moral pihak swasta untuk membantu pemerintah mencerdaskan anak negeri ini, sebab daya tampung PTN tentulah tidak memadai.
Nasib PTS seperti ada di ujung tanduk. PTS tidak bisa berkembang karena PTS juga dibebani dengan berbagai pengeluaran seperti tingginya biaya untuk mengubah satu program studi yang sudah jenuh dan tidak diminati, konon angkanya bisa mencapai Rp 3,5 miliar. PTS yang tidak mampu akhirnya hanya mempertahankan program studi yang sudah tidak laku tersebut. Di sisi lain, PTN justru gencar membuka program studi baru dan program ekstensi. Mahasiswa yang tidak lulus seleksi nasional mahasiswa perguruan tinggi negeri (SNMPTN), banyak yang masuk kelas ekstensi.
Sejak tahun 2000, bersama keluarnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 61/1999 mengharuskan PTN menjalankan praktik otonomi, lepas dari berbagai ketergantungan dari pemerintah. Dengan dalih mencerdaskan kehidupan bangsa, PTN mulai membuka aneka macam jalur penerimaan masuk. Selain lewat ujian bersama bernama Saringan Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB), ada pula jenis penerimaan mandiri.
Konsekuensi yang masuk akal adalah jumlah calon mahasiswa yang masuk ke PTN naik lima kali lipat. Bayangkan pada awal 1990-an jumlah mahasiswa yang bisa diserap PTN, rata-rata 3.000 orang per tahun. Sedangkan setelah era otonomi dimulai, angkanya melonjak menjadi 15 ribu per orang per tahun. Walaupun jalur mandiri ini harganya lebih mahal dibandingkan dengan jalur SPMB, tetapi calon mahasiswa tetap memilih. Terutama, karena alasan citra negeri lebih bergengsi ketimbang swasta.
Perubahan yang kian cepat di tengah arus globalisasi menuntut antisipasi para penyelenggara pendidikan tinggi, khususnya untuk menghasilkan lulusan yang adaptif. Faktanya, dari sekitar 2.300 perguruan tinggi swasta (PTS), hanya sekitar 20 persennya yang siap menyambut tantangan tersebut, selebihnya dinilai belum siap bersaing di era global. Jangankan bersaing di era globalisasi, bersaing di tingkat lokal saja sudah setengah mati.
Beberapa permasalahan yang dihadapi mayoritas PTS di Indonesia, di antaranya terkait pengelolaan keuangan, kepemimpinan, sumberdaya manusia, dan organisasi yang tidak sehat sehingga saling gugat di pengadilan. Salah satu sebab organisasi tak sehat ialah pendirian PTS yang tanpa dilatarbelakangi kejelasan tujuan dan lebih bersifat coba-coba. Solusi mencegah rontoknya PTS, di antaranya penggabungan beberapa universitas yang telah diusulkan sejak tahun 1990-an. Akan tetapi, dalam pelaksanaan di lapangan, penggabungan itu ternyata tidak mudah. Alasan yang sering muncul, visi dan misi penyelenggara PTS yang berbeda.
Fenomena keinginan PT untuk memenuhi animo masyarakat sesuai dengan trend perkembangan kebutuhan dan gengsi akademis sebuah program studi tentu sangat logis. Namun, perlu dicatat bahwa aspek kualitas tidak selalu harus menjadi korban pertama. Eksistensi hanya ada pada keteguhan kualitas. Eksistensi merupakan derivatif pertama dari kualitas, oleh sebab itu mekanisme pasar tidak selamanya menjadi acuan pendirian perguruan tinggi. Sebab, pasar dapat di-drive ke arah yang lebih baik oleh produk perguruan tinggi. Di sinilah kemudian perguruan tinggi, termasuk PTS dituntut untuk menjamin kualitasnya. Dengan demikian bisa memenangkan persaingan, tak hanya di level nasional, tapi juga di tataran global.***
Pemerhati masalah pendidikan, alumnusDibandingkan PTN yang jumlahnya hanya 82 buah, PTS di Indonesia hadir dalam jumlah yang luar biasa, yakni 2746 PTS. Jika dicermati, tingginya jumlah PTS di Indonesia merupakan akibat terlalu mudahnya pemerintah memberikan izin pendirian perguruan tinggi tanpa memerhatikan program studi yang dibuka, kebutuhan masyarakat, sarana dan prasarana pendidikan, serta beragam faktor lainnya.
Di sisi lain, pemerintah tidak optimal mengevaluasi perguruan tinggi yang sudah didirikan, termasuk mengevaluasi tenaga pengajar, program studi, sarana pendidikan, serta mahasiswa peserta program studi. Hal itu pada gilirannya telah menyeret PTS pada persoalan kesulitan bertahan hidup, lantaran mulai ditinggalkan masyarakat. Hal lain, kini PTS harus bersaing secara tidak sehat dengan perguruan tinggi negeri (PTN) yang sangat mudah membuka program studi serta menyediakan beragam jalur, di tengah rendahnya angka partisipasi kasar (APK) perguruan tinggi di Indonesia.
Berdasarkan data, dari 28 juta penduduk Indonesia berusia 19-24 tahun, yang seharusnya mengenyam pendidikan tinggi, sampai saat ini baru 4,3 juta orang yang menjadi mahasiswa (17,2 persen). Pemerintah menargetkan APK perguruan tinggi bisa mencapai 18 persen atau membutuhkan tambahan 180.000 mahasiswa baru hingga tahun 2009. Sementara jumlah PTS saat ini telah melebihi kebutuhan masyarakat dan pertumbuhan calon mahasiswa baru.
Di satu sisi pertumbuhan PTS ini dapat ditafsirkan sebagai bentuk kepedulian pihak swasta terhadap kualitas SDM negeri ini. Atau dapat juga ditafsirkan sebagai sebuah tanggung jawab moral pihak swasta untuk membantu pemerintah mencerdaskan anak negeri ini, sebab daya tampung PTN tentulah tidak memadai.
Nasib PTS seperti ada di ujung tanduk. PTS tidak bisa berkembang karena PTS juga dibebani dengan berbagai pengeluaran seperti tingginya biaya untuk mengubah satu program studi yang sudah jenuh dan tidak diminati, konon angkanya bisa mencapai Rp 3,5 miliar. PTS yang tidak mampu akhirnya hanya mempertahankan program studi yang sudah tidak laku tersebut. Di sisi lain, PTN justru gencar membuka program studi baru dan program ekstensi. Mahasiswa yang tidak lulus seleksi nasional mahasiswa perguruan tinggi negeri (SNMPTN), banyak yang masuk kelas ekstensi.
Sejak tahun 2000, bersama keluarnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 61/1999 mengharuskan PTN menjalankan praktik otonomi, lepas dari berbagai ketergantungan dari pemerintah. Dengan dalih mencerdaskan kehidupan bangsa, PTN mulai membuka aneka macam jalur penerimaan masuk. Selain lewat ujian bersama bernama Saringan Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB), ada pula jenis penerimaan mandiri.
Konsekuensi yang masuk akal adalah jumlah calon mahasiswa yang masuk ke PTN naik lima kali lipat. Bayangkan pada awal 1990-an jumlah mahasiswa yang bisa diserap PTN, rata-rata 3.000 orang per tahun. Sedangkan setelah era otonomi dimulai, angkanya melonjak menjadi 15 ribu per orang per tahun. Walaupun jalur mandiri ini harganya lebih mahal dibandingkan dengan jalur SPMB, tetapi calon mahasiswa tetap memilih. Terutama, karena alasan citra negeri lebih bergengsi ketimbang swasta.
Perubahan yang kian cepat di tengah arus globalisasi menuntut antisipasi para penyelenggara pendidikan tinggi, khususnya untuk menghasilkan lulusan yang adaptif. Faktanya, dari sekitar 2.300 perguruan tinggi swasta (PTS), hanya sekitar 20 persennya yang siap menyambut tantangan tersebut, selebihnya dinilai belum siap bersaing di era global. Jangankan bersaing di era globalisasi, bersaing di tingkat lokal saja sudah setengah mati.
Beberapa permasalahan yang dihadapi mayoritas PTS di Indonesia, di antaranya terkait pengelolaan keuangan, kepemimpinan, sumberdaya manusia, dan organisasi yang tidak sehat sehingga saling gugat di pengadilan. Salah satu sebab organisasi tak sehat ialah pendirian PTS yang tanpa dilatarbelakangi kejelasan tujuan dan lebih bersifat coba-coba. Solusi mencegah rontoknya PTS, di antaranya penggabungan beberapa universitas yang telah diusulkan sejak tahun 1990-an. Akan tetapi, dalam pelaksanaan di lapangan, penggabungan itu ternyata tidak mudah. Alasan yang sering muncul, visi dan misi penyelenggara PTS yang berbeda.
Fenomena keinginan PT untuk memenuhi animo masyarakat sesuai dengan trend perkembangan kebutuhan dan gengsi akademis sebuah program studi tentu sangat logis. Namun, perlu dicatat bahwa aspek kualitas tidak selalu harus menjadi korban pertama. Eksistensi hanya ada pada keteguhan kualitas. Eksistensi merupakan derivatif pertama dari kualitas, oleh sebab itu mekanisme pasar tidak selamanya menjadi acuan pendirian perguruan tinggi. Sebab, pasar dapat di-drive ke arah yang lebih baik oleh produk perguruan tinggi. Di sinilah kemudian perguruan tinggi, termasuk PTS dituntut untuk menjamin kualitasnya. Dengan demikian bisa memenangkan persaingan, tak hanya di level nasional, tapi juga di tataran global.***
University of Illinois, USA.
Sumber : suarakarya-online.com
0 Comments:
Posting Komentar